PAJAK DALAM PERADABAH ISLAM
Pajak Dalam Peradaban Islam
Sering muncul pertanyaan, adakah kewajiban umat Islam atas harta selain zakat? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Beberapa menyatakan ada, sedangkan lainnya berpendapat tidak ada. Yang berpendapat ada kewajiban selain zakat mencontohkannya dengan pajak. Pendapat ini dikemukakan oleh Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Hasan bin Ali, dan lainnya. Para tabiin yang mendukung pendapat ini adalah Sya'bi, Mujahid, Thawus, 'Atha, dan lainnya.
Pendapat ini dilandaskan kepada dalil Alquran surah Albaqarah [2]: 177 dan Al-An'am [6]: 141. Kedua ayat di atas merupakan dalil yang kuat mengenai adanya kewajiban atas harta selain zakat, yakni memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, fakir miskin, dan musafir. ''Dan, Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun, dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.'' (QS Al-An'aam [6]: 141). Karena itu, mereka mengusulkan adanya sumber alternatif baru sebagai penghasilan atau pendapatan negara. Dalam hal ini, ada dua pilihan alternatif, yakni pajak atau utang. Selama utang mengandung konsekuensi riba, pajak adalah pilihan yang lebih baik dan utama. Abdurrahman Al-Marghinani dalam kitabnya al-Hidayah berpendapat bahwa jika sumber-sumber negara tidak mencukupi, negara harus menghimpun dana dari rakyat untuk memenuhi kepentingan umum. Jika manfaat itu memang dinikmati rakyat, kewajiban mereka membayar ongkosnya.
Pajak sebagai sumber pendapatan negara di luar zakat sebenarnya sudah diterapkan pada masa Rasulullah dan diteruskan pada masa Khalifaur Rasyidun, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan kekhalifahan Islam yang memerintah sesudahnya. Pajak sendiri memiliki banyak istilah: ada yang menyebutnya dengan jizyah, 'usyr, karraj, dan dharibah. Sebagaimana di negara-negara modern saat ini, penerimaan negara dari hasil pungutan pajak pada awal perkembangan Islam hingga masa keemasan dialokasikan untuk membiayai seluruh kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di berbagai sektor kehidupan.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, misalnya, oleh sejumlah khalifah anggaran khusus ini dibelanjakan untuk mengembangkan dan memperluas tanah negara sebagai salah satu sumber penting bagi keuangan negara. Cara pengelolaan uang negara seperti ini memiliki dampak positif. Ini terlihat sepeninggal Khalifah al-Mansur dan Khalifah Harun ar-Rasyid, negara telah memiliki sumber keuangan yang lebih dari cukup. Membayar pajak ini bukan hanya menjadi kewajiban umat Islam, tetapi juga kelompok non-Muslim.
Membayar pajak dan membantu negara adalah kewajiban setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. orang-orang non-Muslim yang tinggal dalam wilayah kekuasaan Islam berkewajiban membayar pajak sebagai bentuk pengakuan bertempat tinggal bagi dirinya di negara itu. Dengan itu, mereka meminta jaminan perlindungan keamanan, ketertiban, menikmati fasilitas umum, dan lain sebagainya. Kewajiban jizyah bagi kelompok non-Muslim bukan dilakukan berdasarkan keinginan untuk mendapatkan harta atau kekayaan semata. Akan tetapi, lebih dari itu, di dalam penetapannya terkandung manfaat bagi mereka yang diwajibkan membayar. Dana pajak dipergunakan oleh negara untuk kemaslahatan umum (rakyat) dan bukan untuk pemungut pajak. Pemungut pajak akan diberikan upah (remunerasi) atas kerja mereka dalam mengumpulkan hasil pajak dari para wajib pajak.
Apakah zakat dan pajak memiliki kedudukan yang sama?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusTidak karena zakat merupakan indikator keimanan. Sedangkan pajak merupakan kewajiban yang berdasarkan kebijakan pemerintah yakni zakat diambil dari pendapatan usaha yang bersih (halal).
HapusManakah yang lebih utama antara pajak dan zakat ? Berikan alasanya jika dalm kondisi tertentu!
BalasHapuszakat tentu lebih utama daripada pajak. Dan jika warga negara Indonesia rutin membayar zakat dengan mengurus bukti-bukti pembayaran zakat yang sah, hal itu dapat menjadi pengurang saat membayar pajak. Di zaman Rasulullah SAW semua umatnya wajib membayar zakat, entah itu yang muslim maupun non-muslim.
HapusBagaimanakah cara pengimplementasian taat pada Pemerintah dalam Islam, sedangkan pajak itu haram?
BalasHapuspendapat pajak itu haram tidaklah tepat. Pajak (Dharibah) ternyata terdapat dalam Islam yang merupakan salah satu pendapatan negara berdasarkan ijtihad Ulil Amri yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (ahlil halli wal aqdi) dan persetujuan para ulama. Pajak (Dharibah) adalah kewajiban lain atas harta, yang datang disaat kondisi darurat atau kekosongan Baitul Mal yang dinyatakan dengan keputusan Ulil Amri. Ia adalah kewajiban atas kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran kaum Muslim yang harus dibiayai secara kolektif (ijtima’iyyah) seperti keamanan, pendidikan dan kesehatan, dimana tanpa pengeluaran itu akan terjadi bencana yang lebih besar. Masa berlakunya temporer, sewaktu-waktu dapat dihapuskan. Ia dipungut bukan atas dasar kepemilikan harta, melainkan karena adanya kewajiban (beban) lain atas kaum Muslimin, yang harus diadakan di saat ada atau tidaknya harta di Baitul Mal, sementara sumber-sumber pendapatan yang asli seperti Ghanimah, Fay’i, Kharaj dan sumber pendapatan negara yang tidak ada. Objeknya Pajak (Dharibah) adalah harta atau penghasilan setelah terpenuhi kebutuhan pokok, seperti halnya Zakat. Agar tidak terjadi double taxs dengan Zakat, maka dalam penghitungannya, Zakat yang telah dikeluarkan dapat dijadikan sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak yang tertuang dalam laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi atau PPh Badan, sehingga akan dapat mengurangi Pajak terutang. Zakat saat ini memang baru dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, menunggu sebuah ketentuan yang lebih baik (insya Allah akan terbit) dimasa mendatang yaitu zakat dijadikan sebagai pengurang pajak terutang
HapusBagaimana hukum dalam Islam jika uang hasil judi digunakan membayar pajak kendaraan ? Apakah kendaraannya menjadi haram untuk dipakai ?
BalasHapussegala sesuatu yang berasal dari sesuatu yang dilarang, maka tidak dibolehkan untuk menggunakannya. Muslim yang cerdas harus segera menyingkirkan sifat-sifat tercela ini dan bertaubat darinya serta kembali kepada Allah SWT, karena hidup ini sementara.
Hapus